Komunitas adat Amatoa tinggal di sebuah lingkungan yang disebut Tana Toa. Ini adalah sebuah wilayah yang asri dalam pelukan hutan luas di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Di tengah rimbunnya pepohonan di pedalaman Kabupaten Bulukumba, hidup komunitas adat Amatoa. Komunitas ini membentengi diri dari sentuhan teknologi. Melihat lingkungan, rumah, adat istiadat, sampai cara mereka hidup, Anda akan terbawa pada kehidupan masyarakat masa silam yang sangat menyatu dengan alam.
Komunitas adat Amatoa tinggal di sebuah lingkungan yang disebut Tana Toa. Ini adalah sebuah wilayah yang asri dalam pelukan hutan luas di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari kota Bulukumba atau 250 kilometer sebelah tenggara Kota Makassar.
Komunitas adat ini juga disebut Suku Kajang Dalam. Ini untuk membedakan komunitas Amatoa dari komunitas yang lebih terbuka terhadap perubahan yang disebut Suku Kajang Luar. Untuk menunjukkan betapa eksklusifnya mereka, warga Amatoa hanya mengenakan pakaian hitam.
Anda akan segera melihat keunikan warga Amatoa ketika memasuki pintu gerbang desa. Di sana Anda hanya akan menemui jalan batu yang tertata rapi. Anda juga tidak boleh menggunakan kendaraan alias harus berjalan kaki. Dari gerbang inilah pengalaman memasuki kehidupan masa lampau dimulai.
Beberapa ratus meter dari gerbang, tampak rumah-rumah berbaris rapi. Semuanya terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung. Uniknya, seluruhnya menghadap ke barat. Tidak ada suara musik, suara mesin, dan suara-suara bising. Yang ada hanya hening menyelimuti lingkungan Tana Toa.
Saat malam, mereka juga tidak menggunakan lampu listrik. Hanya lampu minyak yang tampak berpendar-pendar di setiap rumah. Suara alam begitu jelas saat gelap menyelimuti Desa Tana Toa.
Di dalam wilayah desa Tana Toa terdapat tujuh dusun. Dusun utama bernama Benteng. Di dusun inilah Amatoa, pemimpin adat Tana Toa, tinggal. Amatoa adalah pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin spiritual. Amatoa adalah penjaga pranata sosial Tana Toa.
Pranata sosial Tana Toa berkarakter komunal. Bagi mereka, hutan tempat mencari nafkah, adalah milik bersama. Para pria bekerja di ladang yang juga digarap secara komunal. Meskipun ada beberapa di antara mereka menjadi buruh tani. Para wanita tinggal di rumah untuk menenun atau menyulam.
Karakter komunal juga terlihat dalam cara mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Warga menggantungkan kebutuhan air pada mata air atau sumur. Satu mata air dimanfaatkan oleh seluruh warga. Sumur Tunikeke menjadi tempat mencuci, mandi, dan minum bagi ratusan warga Dusun Benteng.
Penolakan terhadap teknologi dan karakter komunal komunitas Tana Toa merupakan praktik dari kepercayaan panuntung (tuntunan). Kepercayaan ini berdasar pada nilai-nilai kamase-masea, yaitu lambusu' (jujur), gattang (tegas), sa'bara (sabar), dan apisona (pasrah sepasrah-pasrahnya).
Di luar kekayaan adat yang sengaja terus dipelihara, komunitas Tana Toa memiliki catatan prasejarah yang menakjubkan. Berbagai penelitian arkelogis menunjukkan akar peradaban kuno. Ada sebuah makam milik seorang ksatria dan beberapa artefak yang telah berumur lebih dari 1.000 tahun.
Anda dapat masuk ke wilayah ini. Namun, harus berpakaian warna hitam atau setidaknya dominan hitam. Untuk melakukan berbagai aktivitas, Anda harus meminta izin kepada Amatoa. Termasuk untuk mengambil gambar. Tapi jangan khawatir, Amatoa adalah sosok yang bersahaja dan sangat ramah.
Hmmmm cukup sekali berkunjung kesitu sedikit trauma ihik ihik ihik
ReplyDelete