Sekujur tubuh Masyarakat suku To Balo, khususnya kaki, badan, serta tangannya, dipenuhi dengan bercak putih dan tepat di tengah dahi mereka, bercak itu juga terpampang membentuk segitiga.
Disaat orang larut dalam hiruk-pikuk perkembangan zaman, ada sekelompok orang yang memilih terbenam dalam kesunyian pegunungan Bulu Pao.
Alkisah suatu hari, ada satu keluarga yang melihat sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Namun mereka Bukan hanya menyaksikan, keluarga itu juga menegur dan mengusik tingkah laku ke-2 kuda itu. Maka geramlah dewa lalu mengutuk keluarga ini berkulit seperti kuda belang atau belang. Lantaran malu dengan keadaan kulitya yang belang, keluarga tersebut memilih untuk hidup di pegunungan yang jauh dari keramaian.
Itulah cerita yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul keberadaan mereka, Masyarakat suku To Balo. Sejak ratusan tahun yang lalu, mereka mendiami pengunungan Bulu Pao. Sebuah pegunungan yang terbentang luas melintasi wilayah Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkep.
Masyarakat suku To Balo mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dengan masyarakat lain pada umumnya. Sekujur tubuh Masyarakat suku To Balo, khususnya kaki, badan, serta tangannya, dipenuhi dengan bercak putih dan tepat di tengah dahi mereka, bercak itu juga terpampang membentuk segitiga.
Setiap bayi yang lahir pasti memiliki bercak-bercak putih di tubuhnya. Oleh karena itulah mereka dikenal sebagai To Balo. “To” bermakna orang dan “Balo” bermakna belang, maka To Balo bermakna “Manusia Belang”.
Konon, sejak berabad silam ketika Kerajaan Bugis masih berjaya, karena merasa memiliki kelainan dari masyarakat yang ada, mereka memilih mengasingkan diri dari kumpulan sosial. Hingga kini, Masyarakat suku To Balo tak pernah membangun koloni di daerah yang ramai.
Namun oleh raja-raja zaman dahulu, mereka kerap dipilih sebagai pengawal raja. Para raja kala itu percaya bahwa kelainan yang dimiliki oleh Masyarakat suku To Balo merupakan sebuah tanda kepemilikan kesaktian.
Selain memiliki ciri khas kulit belangnya, Masyarakat suku To Balo pun terkenal dengan tarianya, yaitu Tari Sere Api. Tarian ini merupakan sebuah ritual budaya Suku To Balo yang mengungkapkan rasa senang pada sang dewata atas kelahiran putra atau putri Penghulu Suku Tobalo.
Ada pula pendapat lain bahwasanya Tari Sere Api merupakan sebuah ritual ungkapan rasa gembira atas melimpahnya hasil panen mereka. Maka itu Tari Sere Api kerap dikolaborasikan dengan ritual lain yaitu ritual pesta panen yang disebut Mappadendang.
Dalam kesehariannya, Masyarakat Suku To Balo menggunakan bahasa yang disebut bahasa bentong. Bahasa ini merupakan bahasa gabungan antara bahasa Makassar, Bugis dan Konjo. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, Masyarakat Suku To Balo hidup dengan cara berkebun, bertani dan membuat gula aren.
Kini populasi Masyarakat Suku To Balo makin berkurang. Hal ini dikarenakan adat mereka sendiri membatasi jumlah anggota keluarga dalam satu keluarga tidak bisa lebih dari sepuluh orang. Bila tidak, keluarga ke-11 dan selanjutnya harus mati. Entah dibunuh langsung atau dibuang ke suatu tempat sampai di yakini tidak bernyawa lagi.
COMMENTS